Sesungguhnya “Cinta itu tidak
abadi”. Nah, itulah kabar tentang cinta. Kesimpulan ini dikemukakan oleh
seorang Antropologi asal AS (Amerika
Serikat), Helen Fischer yang telah melakukan penelitian bertahun-tahun.
Fischer, menemukan betapa kasus
perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia empat tahun.
Kalaupun masa empat tahun itu terlalui, katanya, kemungkinan itu berkat
hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat perkawinan mereka bisa bertahan hingga
empat tahun lebih.
Nah, kalau main hitung-hitungan,
rasanya seru juga. Misalnya, masa pacaran telah dilalui 3 tahun, berarti
kesempatan untuk bisa mempertahankan gelora cinta hanya ada ditahun pertama
perkawinan. Lalu apa yang terjadi ketika masa perkawinan menginjak tahun kedua,
ketiga, dan seterusnya? Cuma ada sisa-sisa, atau bahkan punah sama sekali. Lalu
bagaimana dengan mereka yang mengalami masa pacaran lebih dari enam tahun?
Menurut pandangan Diane-Lie (seorang
psikolog sekaligus peneliti pada sebuah univesitas di Beijing). Dalam hubungan
suami istri atau pacaran. Selain cinta, ada hubungan lain yang sifatnya friendship,
pertemanan. Kalau setelah beberapa waktu cinta itu menipis-mungkin karena
tersisihkan hal-hal lain, misalnya karena rutinitas yang itu-itu juga, lalu
segalanya jadi terasa membosankan.
Kakek-nenek dapat hidup rukun sampai
mereka berusia lanjut juga karena senyawa kimia. Namanya oksitosin. Menurut
penelitian, kesetiaan pada pasangan berhubungan dengan kadar oksitosin yang
tinggi. Kadar oksitosin ini dapat ditingkatkan dengan cara masing-masing saling
menyayangi. Walau kadang pasangannya menjengkelkan. Itu barangkali inti nasihat
orang tua,”cinta tumbuh karena biasa”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan komentar agar Blog ini semakin baik..!!!