Jumat, 15 Juni 2012

Cinta itu tidak abadi, hanya bertahan 4 tahun


      Sesungguhnya “Cinta itu tidak abadi”. Nah, itulah kabar tentang cinta. Kesimpulan ini dikemukakan oleh seorang Antropologi  asal AS (Amerika Serikat), Helen Fischer yang telah melakukan penelitian bertahun-tahun.

     Fischer, menemukan betapa kasus perceraian mencapai puncaknya ketika usia perkawinan mencapai usia empat tahun. Kalaupun masa empat tahun itu terlalui, katanya, kemungkinan itu berkat hadirnya anak kedua. Kondisi ini membuat perkawinan mereka bisa bertahan hingga empat tahun lebih.

      Nah, kalau main hitung-hitungan, rasanya seru juga. Misalnya, masa pacaran telah dilalui 3 tahun, berarti kesempatan untuk bisa mempertahankan gelora cinta hanya ada ditahun pertama perkawinan. Lalu apa yang terjadi ketika masa perkawinan menginjak tahun kedua, ketiga, dan seterusnya? Cuma ada sisa-sisa, atau bahkan punah sama sekali. Lalu bagaimana dengan mereka yang mengalami masa pacaran lebih dari enam tahun?

        Menurut pandangan Diane-Lie (seorang psikolog sekaligus peneliti pada sebuah univesitas di Beijing). Dalam hubungan suami istri atau pacaran. Selain cinta, ada hubungan lain yang sifatnya friendship, pertemanan. Kalau setelah beberapa waktu cinta itu menipis-mungkin karena tersisihkan hal-hal lain, misalnya karena rutinitas yang itu-itu juga, lalu segalanya jadi terasa membosankan.

        Kakek-nenek dapat hidup rukun sampai mereka berusia lanjut juga karena senyawa kimia. Namanya oksitosin. Menurut penelitian, kesetiaan pada pasangan berhubungan dengan kadar oksitosin yang tinggi. Kadar oksitosin ini dapat ditingkatkan dengan cara masing-masing saling menyayangi. Walau kadang pasangannya menjengkelkan. Itu barangkali inti nasihat orang tua,”cinta tumbuh karena biasa”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan komentar agar Blog ini semakin baik..!!!